Friday, 27 March 2015

Titik Potong Dua Pasang Sepatu


Sepatu yang bagus akan membawamu ke tempat yang bagus. Sayangnya tidak semua sepatu terlahir dengan takdir yang bagus, kawan.

Aku lahir dengan penerimaan. Berbentuk seperti sepatu untuk sepakbola namun tak berduri membuatku sepenuhnya sadar diri. Sepasang kaki yang memilihku nanti mungkin menjadikanku kawan saat berolahraga. Kalau sedikit lebih beruntung aku bisa sepenuhnya mengabdi sambil merasakan suasana pusat kebugaran mewah.
Nyatanya perjalanan dunia seringkali tak tertebak. Kaki-kaki kecil sekarang mengetukkanku tak sabar di lantai dingin Utrecht Central Station. Beragam pasang sepatu melintas tak peduli. Berpasang sepatu berlalu tanpa mengindahkanku. Mereka melangkah ke tangga menuju peron kereta. Beberapa sepatu boot berhak tinggi dengan berbagai gaya menatapku penuh pertanyaan.
Sebuah penantian, kawan. Begitulah jawabku pada tanya mereka yang terlontar lewat kebisuan. Aku masih terantuk-antuk di lantai. Menandai cemas, gugup, dan ragu sepasang kaki dalam diriku.
Beberapa jeda waktu kemudian ketukan yang dari tadi mengguncangku berhenti tiba-tiba. Seluruh berat tubuh pemilik sepasang kaki kecil itu terfokus padaku. Ia berdiri menyambut seseorang yang ia nantikan.
Pria berkaki besar itu mengenakan boot hitam yang aku yakin berharga mahal. Boot hitam menyapaku ramah. Sebaliknya aku merasa rendah diri.

Sepatu yang bagus akan membawamu ke tempat yang bagus. Tapi apa yang akan terjadi jika dua pasang sepatu berbeda kasta bertemu?

Aku dan boot hitam hanya menunggu perhentian selanjutnya. Sepasang manusia yang cukup asing satu sama lain mencari tempat duduk untuk sekedar duduk dan bertukar kisah. Hari minggu berarti tutupnya sebagian besar pertokoan dan café di dalam stasiun yang membuat tak banyak pilihan tersedia sebagai tempat singgah.
Kami berakhir mengantri di sebuah waralaba warung kopi yang mendunia. Meskipun salah satu cabangnya ada di beberapa pusat perbelanjaan kota Pahlawan, hari ini adalah kali pertama aku meninggalkan jejak di tempat seperti ini. Aku hanya terbiasa menyusuri jalanan kampus dan trotoar ibukota Jawa bagian timur bersama si kaki kecil. Sementara boot hitam tampak nyaman dan tak asing dengan warung kopi level internasional ini.
Cappuccino. Ah, kebetulan yang manis. Pemilik boot hitam menyebut pesanan tepat sama seperti pilihan pemilikku. Pilihan yang bagus saat mendung musim dingin di bulan Januari. Aku dan boot hitam mengabdi pada pemilik kami. Membantu mereka mengurangi rasa dingin yang merayapi kaki.
Kami hanya dua pasang sepatu yang asing satu sama lain. Kami dipertemukan karena pertemuan yang dijanjikan pemilik boot hitam pada kaki kecil. Di titik inilah garis kami bertemu dan berpotongan.
Sambil menunggu pesanan pemilik kami, Boot hitam memperkenalkan dirinya. Ia lahir dengan keberuntungan karena tinggal di etalase megah toko sepatu. Hanya masalah waktu saja ia dipilih oleh siapapun yang punya uang lebih untuk mendapatkannya. Ia pun dipilih oleh seorang anak muda dari keluarga pengusaha bidang perminyakan.
Sang tuan berkaki besar lalu membawanya merantau jauh dari kampung halamannya. Sebuah kota yang dilewati Bukit Barisan. Boot hitam menceritakan kadang ia bisa merasakan kuat keinginan tuannya untuk bisa menyelesaikan pendidikannya di negeri yang jauh dengan baik. Ia menemani tuannya bekerja paruh waktu sebab sang tuan merantau dengan biaya sendiri. Ia juga menemani kaki besar bertemu banyak mahasiswa negeri khatulistiwa di perantauan untuk membuat jaringan pertemanan. Ia yakin tuannya takkan berakhir sebagai pegawai, sebab kaki besarnya takkan cocok dengan sepatu pegawai kantoran. Aku tertawa. Boot hitam yakin kalau ia akan terus menemani tuannya sampai jadi pengusaha yang sukses.
Boot hitam lalu menumpahkan kisahnya berkelana dari laboratorium mekanik kemudian berubah haluan menjejaki laboratorium komputer. Ia mulai membiasakan diri saat pemiliknya mengetuk-ngetukkan dirinya karena bersemangat menyelesaikan model matematika ataupun suatu algoritma. Hanya satu yang kadang membuatnya sedih, ia merindukan tanah hangat khatulistiwa.
Aku menyemangatinya. Aku berjanji akan menyampaikan salamnya pada kehangatan bumi khatulistiwa beberapa hari ke depan. Boot hitam tersenyum berterima kasih. Ia pasti paham kalau janji temu pemilik kami dibuat sebab empat hari lagi kaki kecil akan kembali ke pelukan hangat matahari jamrud khatulistiwa.
Pesanan kopi telah siap. Aku mengikuti boot hitam menuju tempat duduk di luar warung kopi itu. Rasanya pasti menyenangkan berbincang sambil menikmati langkah-langkah cepat orang yang tengah mengejar waktu keberangkatan kereta. Aku dan boot hitam saling berhadapan dan dipisahkan sebuah meja.
Kali ini boot hitam ingin mendengar cerita tentang diriku.
Aku tak pernah menyangka kalau aku dipilih oleh seorang gadis kampung. Mungkin dia lebih menyukaiku yang akan memberikan kenyamanan daripada sepatu dengan model khusus untuk para perempuan. Semua keherananku terjawab karena pemilikku sangat suka berjalan kaki. Tak semua sepatu sanggup diajak berlajan kaki sejauh empat kilometer pulang pergi setiap hari dari kos ke kampus tempat ia kuliah. Harga beliku pasti tak setinggi uang yang dibayarkan kaki besar untuk mendapatkan boot hitam, tapi aku juga sepatu yang tangguh. Aku bisa mulai berbangga di hadapan boot hitam, kawan.
Aku melewati beragam kantor menemani kaki kecil mengurus administrasi pengajuan beasiswa. Aku juga menemaninya saat tes kemampuan bahasa asing dan tes wawancara. Aku ikut merasakan kebahagiaannya ketika kaki kecil menahan diri untuk meloncat kegirangan saat ia diterima program beasiswa yang diimpikannya.
Boot hitam kali ini memandangku kagum.
Kami lalu terdiam memikirkan perbedaan jalan hidup kami dan pemilik kami. Titik potong ini takkan pernah terlupakan. Meskipun ini pertemuan kali pertama mungkin sekaligus untuk yang terakhir.

Sepatu yang bagus akan membawamu ke tempat yang bagus. Ingatlah satu hal, kawan. Sepasang sepatu yang paling jelek sekalipun pasti memiliki kisah unik yang tak tergantikan.

Tak peduli warga lokal berkata bahwa musim dingin kali ini terlalu hangat, kaki kecil tetap merasa dingin di balik kaos kaki tebalnya. Musim dingin yang janggal sebab tingkat temperatur bulan Januari ternyata tak mengijinkan turunnya salju. Bagi kaki kecil salju hanya sebuah dongeng. Cerita menyenangkan yang masih belum menjadi realitas bagi gadis kampung yang dibesarkan dengan kehangatan khatulistiwa. Meski sudah berhasil merantau jauh dari kota kecil yang pernah berbangga dengan Majapahit, nyatanya masih belum bisa menapaki jalanan bersalju.
Boot hitam menatapku simpati. Sebagai sepatu yang sudah dua tahun tinggal di negeri Hitler tentu saja boot hitam tahu betul kisah salju. Setidaknya ia bisa menghiburku sedikit. Ia lalu bercerita bahwa menyaksikan salju turun untuk pertama kali adalah pengalaman luar bisa. Namun jika sudah beberapa waktu merasakan cengkraman dingin, tak ada yang lebih dirindukan selain pelukan dari sinar matahari.
Mengalihkan perhatianku, boot hitam menanyakan seberapa banyak aku berpetualang di perantauan. Penjelajahanku pada benua biru tak terlalu banyak. Aku hanya setahun di sini. Aku hanya pernah menyambangi Paris dan beberapa kota di Italia. Boot hitam memintaku menceritakan tentang Paris, terutama tentang menara Eiffel.
Menara Eiffel?
Aku tak ingin membuat boot hitam kesal dengan pendapatku. Hanya saja bagiku menara yang membelah sungai di Paris itu adalah onggokan besi tua. Untungnya menara berkaki empat ini tak berkarat.
Aku memang terkesan saat pertama kali menatap sebuah menara yang dulu pernah jadi salah satu keajaiban dunia itu. Tapi aku lebih takjub pada kekuatan sebuah mimpi. Harapan yang disandingkan dengan kerja keras. Mimpi itulah yang lantas membawa kaki kecil yang biasanya hanya menapaki pematang sawah kini menjejak tanah Eropa, kota Paris yang eksotis.
Di depan menara aku bisa merasakan kaki kecil bergetar menahan genangan haru air mata. Aku mengenali wujud mimpi yang ia bisikkan ketika membaca Sang Pemimpi. Aku merasakan kenyataan yang sangat manis untuk pemilikku. Kakinya pernah goyah karena ia hanya anak dari buruh pabrik yang tengah dirumahkan ketika pertama kali mendaftar beasiswa. Ibunya pun hanya pedagang toko kelontong kecil. Tapi ia tak menyerah mengejar mimpi menuntut ilmu ke negeri jauh.
Aku teringat kaki kecil sempat hampir roboh karena berita panggilan wawancara beasiswa tiba bersamaan dengan berita kecelakaan ibunya. Aku mengenali ketakutannya saat menyusuri lorong rumah sakit menunggu ibunya dioperasi karena patah tulang kaki.
Akulah yang menemaninya berdiri di tepian ranjang ibunya. Sang ayah yang duduk di sampingnya memberikannya restu, sang ibu juga memberikan doanya lirih. Keesokan harinya aku bersamanya saat ia melalui tahap wawancara itu. Sambil menatap kerlip nyala lampu menara Eiffel ketika langit menggelap, aku juga ikut hanyut pada sensasi nyata perjalanan panjangnya, wujud impian kaki kecil.
Jangan pernah salah memilih sepatu, kawan.
Sayangnya boot hitam belum pernah ke Paris. Ia berkisah bahwa tuannya berencana menaklukkan Paris dengan cara berbeda. Jika persiapannya matang, boot hitam harus berkawan dengan pedal sepeda menuju kota romantis itu.
Mengatasi sedikit kekecewaannya boot hitam lalu bertanya padaku bagaimana rasanya menjelajahi jalanan di Roma.
Sangat luar biasa, kataku pada boot hitam.
Aku membantu kaki kecil melewati malam panjang di stasiun utama kota itu. Aku tahu rasa antusiasnya ketika mengelilingi mantan keajaiban dunia yang lain, Kolosium.
Di tengah rasa hangat matahari kota Roma, Kolosium hanya reruntuhan arena Gladiator bagiku.  Aku bisa meraba betapa kaki kecil sangat terkesan dibuatnya. Di sisi lain, aku sangat paham bahwa ada hal lain yang membuatnya jauh lebih terkesan.
Aku teringat lagi waktu beban tubuh kaki kecil terasa begitu berat karena ia tak ingin beranjak. Waktu itu ibunya yang menggunakan kurk memeluknya di pintu bandara.
Kerumuman antrian masuk Kolosium mengular. Tapi pemiliku tak peduli dan tetap memaksaku menahan tubuhnya di antara antrian itu. Ada cengkraman haru yang memenuhi sekitarku. Seluruh perasaan itu bermuara pada satu ingatan yang dibaginya padaku. Ingatan saat kali pertama turun dari pesawat yang membawanya  belasan jam dari tanah khatulistiwa. Itulah kali pertama aku merasakan suhu minus, kawan.
Mimpi kaki kecil tergenapi. Aku akan menemaninya belajar banyak hal di salah satu pusat pengembangan pendidikan terbaik di dunia. Aku akan diajaknya tinggal di sebuah kota tua yang berada di tengah negara asal bunga Tulip. Aku terkunci di tanah yang dingin sebab kaki kecil terdiam. Sungguh tak ada kata yang bisa mewakili momen pagi itu.
Boot hitam melongo tak percaya tepat ketika aku menyelesaikan kalimatku.
Ia memang sering menemani petualangan kaki besar ke beberapa kota di benua biru. Tapi ia tak punya momen spesial seperti milikku. Ia hanya menahan berat tubuh kaki besar saat mengambil potret keindahan kota tua Praha, beberapa kota di  Belgia, Austria, dan beberapa stadion sepak bola di Italia dan Spanyol.
Satu-satunya yang spesial bagi boot hitam adalah bisa berkeliling negeri kincir angin dengan berkereta dan hanya menggunakan selembar tiket. Sesuatu yang membuatnya keheranan.
Aku menyeringai. Tentu saja bisa. Menurutmu dari siapa si kaki besar mendapatkan tiketnya? Kaki kecil begitu menekanku tak sabar hari itu. Ia melangkah cepat setengah berlari ke kantor pos dekat rumah tinggalnya untuk mengirimkan tiket kereta itu menyeberang negara. Kami tertawa bersama.

Percayalah padaku, kawan. Sepatu yang bagus akan membawamu ke tempat yang bagus.

Waktuku telah habis. Sungguh aku tak ingin pertemuan ini berakhir. Titik potong dua pasang sepatu dengan latar belakang sepertinya tak berlangsung terlalu buruk. Tapi setiap menit pertemuan singkat ini berlalu juga berarti hitungan mundur menjelang perpisahan. Sebuah titik pisah sekaligus awal yang baru. Takkan ada yang tahu apakah akan ada lagi titik potong antara aku dan boot hitam.
Berat rasanya mengantar boot hitam menghilang ditelan eskalator turun menuju peron kereta arah ibukota negeri kincir angin sebelum kembali ke negeri Hitler. Tapi aku tahu setidaknya kaki kecil bahagia pernah memiliki satu hari ini. Hanya itu yang ia butuhkan.
Titik potong juga merupakan titik awal baru. Setiap bagian yang dipertemukan akan melanjutkan hidup masing-masing. Empat hari lagi aku harus angkat kaki dari sini. Aku dan boot hitam akan terpisah jarak puluhan ribu kilometer. Ia masih harus menemani kaki besar menyelesaikan apapun yang dimulainya di laboratorium komputer. Aku juga harus menemani kaki kecil menyelesaikan penelitian dan memajukan pendidikan di negeri seribu pulau.
Aku berjalan menjauh dari tangga peron. Aku tak menoleh lagi lalu menemani kaki kecil menyusuri jalan keluar dari stasiun. Empat hari lagi kami akan kembali ke pangkuan hangat tanah khatulistiwa. Namun ia telah mengukir janji. Kelak ia harus kembali. Mencipktakan jejak baru lagi. Memastikan bahwa salju bukan dongeng pengusir sepi. Dan saat itu tiba, mungkin saja aku tak lagi bersamanya.


Sepatu yang bagus memang akan membawamu ke tempat yang bagus, kawan. Tapi sepasang kaki tangguhlah penentu kemana ia akan menjejakkan sepatunya. (afatsa)

Repost tulisan tahun 2013

No comments:

Post a Comment