Sepatu yang bagus akan
membawamu ke tempat yang bagus. Sayangnya
tidak semua sepatu terlahir dengan takdir yang bagus, kawan.
Aku lahir dengan penerimaan. Berbentuk seperti sepatu
untuk sepakbola namun tak berduri membuatku sepenuhnya sadar diri. Sepasang
kaki yang memilihku nanti mungkin menjadikanku kawan saat berolahraga. Kalau
sedikit lebih beruntung aku bisa sepenuhnya mengabdi sambil merasakan suasana
pusat kebugaran mewah.
Nyatanya perjalanan dunia seringkali tak tertebak.
Kaki-kaki kecil sekarang mengetukkanku tak sabar di lantai dingin Utrecht Central Station. Beragam pasang
sepatu melintas tak peduli. Berpasang sepatu berlalu tanpa mengindahkanku.
Mereka melangkah ke tangga menuju peron kereta. Beberapa sepatu boot berhak
tinggi dengan berbagai gaya menatapku penuh pertanyaan.
Sebuah penantian, kawan. Begitulah jawabku pada tanya
mereka yang terlontar lewat kebisuan. Aku masih terantuk-antuk di lantai.
Menandai cemas, gugup, dan ragu sepasang kaki dalam diriku.
Beberapa jeda waktu kemudian ketukan yang dari tadi
mengguncangku berhenti tiba-tiba. Seluruh berat tubuh pemilik sepasang kaki
kecil itu terfokus padaku. Ia berdiri menyambut seseorang yang ia nantikan.
Pria berkaki besar itu mengenakan boot hitam yang aku
yakin berharga mahal. Boot hitam menyapaku ramah. Sebaliknya aku merasa rendah
diri.
Sepatu yang bagus akan
membawamu ke tempat yang bagus. Tapi
apa yang akan terjadi jika dua pasang sepatu berbeda kasta bertemu?
Aku dan boot hitam hanya menunggu perhentian
selanjutnya. Sepasang manusia yang cukup asing satu sama lain mencari tempat
duduk untuk sekedar duduk dan bertukar kisah. Hari minggu berarti tutupnya
sebagian besar pertokoan dan café di dalam stasiun yang membuat tak banyak
pilihan tersedia sebagai tempat singgah.
Kami berakhir mengantri di sebuah waralaba warung kopi
yang mendunia. Meskipun salah satu cabangnya ada di beberapa pusat perbelanjaan
kota Pahlawan, hari ini adalah kali pertama aku meninggalkan jejak di tempat
seperti ini. Aku hanya terbiasa menyusuri jalanan kampus dan trotoar ibukota
Jawa bagian timur bersama si kaki kecil. Sementara boot hitam tampak nyaman dan
tak asing dengan warung kopi level internasional ini.
Cappuccino. Ah, kebetulan yang manis. Pemilik boot
hitam menyebut pesanan tepat sama seperti pilihan pemilikku. Pilihan yang bagus
saat mendung musim dingin di bulan Januari. Aku dan boot hitam mengabdi pada
pemilik kami. Membantu mereka mengurangi rasa dingin yang merayapi kaki.
Kami hanya dua pasang sepatu yang asing satu sama
lain. Kami dipertemukan karena pertemuan yang dijanjikan pemilik boot hitam pada
kaki kecil. Di titik inilah garis kami bertemu dan berpotongan.
Sambil menunggu pesanan pemilik kami, Boot hitam
memperkenalkan dirinya. Ia lahir dengan keberuntungan karena tinggal di etalase
megah toko sepatu. Hanya masalah waktu saja ia dipilih oleh siapapun yang punya
uang lebih untuk mendapatkannya. Ia pun dipilih oleh seorang anak muda dari
keluarga pengusaha bidang perminyakan.
Sang tuan berkaki besar lalu membawanya merantau jauh
dari kampung halamannya. Sebuah kota yang dilewati Bukit Barisan. Boot hitam
menceritakan kadang ia bisa merasakan kuat keinginan tuannya untuk bisa menyelesaikan
pendidikannya di negeri yang jauh dengan baik. Ia menemani tuannya bekerja paruh
waktu sebab sang tuan merantau dengan biaya sendiri. Ia juga menemani kaki
besar bertemu banyak mahasiswa negeri khatulistiwa di perantauan untuk membuat
jaringan pertemanan. Ia yakin tuannya takkan berakhir sebagai pegawai, sebab
kaki besarnya takkan cocok dengan sepatu pegawai kantoran. Aku tertawa. Boot
hitam yakin kalau ia akan terus menemani tuannya sampai jadi pengusaha yang
sukses.
Boot hitam lalu menumpahkan kisahnya berkelana dari
laboratorium mekanik kemudian berubah haluan menjejaki laboratorium komputer.
Ia mulai membiasakan diri saat pemiliknya mengetuk-ngetukkan dirinya karena
bersemangat menyelesaikan model matematika ataupun suatu algoritma. Hanya satu
yang kadang membuatnya sedih, ia merindukan tanah hangat khatulistiwa.
Aku menyemangatinya. Aku berjanji akan menyampaikan
salamnya pada kehangatan bumi khatulistiwa beberapa hari ke depan. Boot hitam
tersenyum berterima kasih. Ia pasti paham kalau janji temu pemilik kami dibuat
sebab empat hari lagi kaki kecil akan kembali ke pelukan hangat matahari jamrud
khatulistiwa.
Pesanan kopi telah siap. Aku mengikuti boot hitam
menuju tempat duduk di luar warung kopi itu. Rasanya pasti menyenangkan berbincang
sambil menikmati langkah-langkah cepat orang yang tengah mengejar waktu
keberangkatan kereta. Aku dan boot hitam saling berhadapan dan dipisahkan sebuah
meja.
Kali ini boot hitam ingin mendengar cerita tentang
diriku.
Aku tak pernah menyangka kalau aku dipilih oleh
seorang gadis kampung. Mungkin dia lebih menyukaiku yang akan memberikan
kenyamanan daripada sepatu dengan model khusus untuk para perempuan. Semua
keherananku terjawab karena pemilikku sangat suka berjalan kaki. Tak semua
sepatu sanggup diajak berlajan kaki sejauh empat kilometer pulang pergi setiap
hari dari kos ke kampus tempat ia kuliah. Harga beliku pasti tak setinggi uang
yang dibayarkan kaki besar untuk mendapatkan boot hitam, tapi aku juga sepatu
yang tangguh. Aku bisa mulai berbangga di hadapan boot hitam, kawan.
Aku melewati beragam kantor menemani kaki kecil
mengurus administrasi pengajuan beasiswa. Aku juga menemaninya saat tes
kemampuan bahasa asing dan tes wawancara. Aku ikut merasakan kebahagiaannya
ketika kaki kecil menahan diri untuk meloncat kegirangan saat ia diterima
program beasiswa yang diimpikannya.
Boot hitam kali ini memandangku kagum.
Kami lalu terdiam memikirkan perbedaan jalan hidup
kami dan pemilik kami. Titik potong ini takkan pernah terlupakan. Meskipun ini
pertemuan kali pertama mungkin sekaligus untuk yang terakhir.
Sepatu yang bagus akan
membawamu ke tempat yang bagus.
Ingatlah satu hal, kawan.
Sepasang sepatu yang paling jelek sekalipun pasti memiliki kisah unik yang tak
tergantikan.
Tak peduli warga lokal berkata bahwa musim dingin kali
ini terlalu hangat, kaki kecil tetap merasa dingin di balik kaos kaki tebalnya.
Musim dingin yang janggal sebab tingkat temperatur bulan Januari ternyata tak
mengijinkan turunnya salju. Bagi kaki kecil salju hanya sebuah dongeng. Cerita
menyenangkan yang masih belum menjadi realitas bagi gadis kampung yang
dibesarkan dengan kehangatan khatulistiwa. Meski sudah berhasil merantau jauh
dari kota kecil yang pernah berbangga dengan Majapahit, nyatanya masih belum
bisa menapaki jalanan bersalju.
Boot hitam menatapku simpati. Sebagai sepatu yang
sudah dua tahun tinggal di negeri Hitler tentu saja boot hitam tahu betul kisah
salju. Setidaknya ia bisa menghiburku sedikit. Ia lalu bercerita bahwa
menyaksikan salju turun untuk pertama kali adalah pengalaman luar bisa. Namun
jika sudah beberapa waktu merasakan cengkraman dingin, tak ada yang lebih
dirindukan selain pelukan dari sinar matahari.
Mengalihkan perhatianku, boot hitam menanyakan seberapa
banyak aku berpetualang di perantauan. Penjelajahanku pada benua biru tak terlalu
banyak. Aku hanya setahun di sini. Aku hanya pernah menyambangi Paris dan
beberapa kota di Italia. Boot hitam memintaku menceritakan tentang Paris, terutama
tentang menara Eiffel.
Menara Eiffel?
Aku tak ingin membuat boot hitam kesal dengan
pendapatku. Hanya saja bagiku menara yang membelah sungai di Paris itu adalah onggokan
besi tua. Untungnya menara berkaki empat ini tak berkarat.
Aku memang terkesan saat pertama kali menatap sebuah
menara yang dulu pernah jadi salah satu keajaiban dunia itu. Tapi aku lebih
takjub pada kekuatan sebuah mimpi. Harapan yang disandingkan dengan kerja
keras. Mimpi itulah yang lantas membawa kaki kecil yang biasanya hanya menapaki
pematang sawah kini menjejak tanah Eropa, kota Paris yang eksotis.
Di depan menara aku bisa merasakan kaki kecil bergetar
menahan genangan haru air mata. Aku mengenali wujud mimpi yang ia bisikkan
ketika membaca Sang Pemimpi. Aku merasakan kenyataan yang sangat manis untuk
pemilikku. Kakinya pernah goyah karena ia hanya anak dari buruh pabrik yang
tengah dirumahkan ketika pertama kali mendaftar beasiswa. Ibunya pun hanya
pedagang toko kelontong kecil. Tapi ia tak menyerah mengejar mimpi menuntut
ilmu ke negeri jauh.
Aku teringat kaki kecil sempat hampir roboh karena
berita panggilan wawancara beasiswa tiba bersamaan dengan berita kecelakaan
ibunya. Aku mengenali ketakutannya saat menyusuri lorong rumah sakit menunggu
ibunya dioperasi karena patah tulang kaki.
Akulah yang menemaninya berdiri di tepian ranjang
ibunya. Sang ayah yang duduk di sampingnya memberikannya restu, sang ibu juga
memberikan doanya lirih. Keesokan harinya aku bersamanya saat ia melalui tahap
wawancara itu. Sambil menatap kerlip nyala lampu menara Eiffel ketika langit
menggelap, aku juga ikut hanyut pada sensasi nyata perjalanan panjangnya, wujud
impian kaki kecil.
Jangan pernah salah memilih sepatu, kawan.
Sayangnya boot hitam belum pernah ke Paris. Ia
berkisah bahwa tuannya berencana menaklukkan Paris dengan cara berbeda. Jika
persiapannya matang, boot hitam harus berkawan dengan pedal sepeda menuju kota
romantis itu.
Mengatasi sedikit kekecewaannya boot hitam lalu bertanya
padaku bagaimana rasanya menjelajahi jalanan di Roma.
Sangat luar biasa, kataku pada boot hitam.
Aku membantu kaki kecil melewati malam panjang di
stasiun utama kota itu. Aku tahu rasa antusiasnya ketika mengelilingi mantan
keajaiban dunia yang lain, Kolosium.
Di tengah rasa hangat matahari kota Roma, Kolosium
hanya reruntuhan arena Gladiator bagiku. Aku bisa meraba betapa kaki kecil sangat
terkesan dibuatnya. Di sisi lain, aku sangat paham bahwa ada hal lain yang
membuatnya jauh lebih terkesan.
Aku teringat lagi waktu beban tubuh kaki kecil terasa
begitu berat karena ia tak ingin beranjak. Waktu itu ibunya yang menggunakan kurk
memeluknya di pintu bandara.
Kerumuman antrian masuk Kolosium mengular. Tapi
pemiliku tak peduli dan tetap memaksaku menahan tubuhnya di antara antrian itu.
Ada cengkraman haru yang memenuhi sekitarku. Seluruh perasaan itu bermuara pada
satu ingatan yang dibaginya padaku. Ingatan saat kali pertama turun dari
pesawat yang membawanya belasan jam dari
tanah khatulistiwa. Itulah kali pertama aku merasakan suhu minus, kawan.
Mimpi kaki kecil tergenapi. Aku akan menemaninya belajar
banyak hal di salah satu pusat pengembangan pendidikan terbaik di dunia. Aku
akan diajaknya tinggal di sebuah kota tua yang berada di tengah negara asal
bunga Tulip. Aku terkunci di tanah yang dingin sebab kaki kecil terdiam. Sungguh
tak ada kata yang bisa mewakili momen pagi itu.
Boot hitam melongo tak percaya tepat ketika aku
menyelesaikan kalimatku.
Ia memang sering menemani petualangan kaki besar ke
beberapa kota di benua biru. Tapi ia tak punya momen spesial seperti milikku.
Ia hanya menahan berat tubuh kaki besar saat mengambil potret keindahan kota
tua Praha, beberapa kota di Belgia,
Austria, dan beberapa stadion sepak bola di Italia dan Spanyol.
Satu-satunya yang spesial bagi boot hitam adalah bisa
berkeliling negeri kincir angin dengan berkereta dan hanya menggunakan selembar
tiket. Sesuatu yang membuatnya keheranan.
Aku menyeringai. Tentu saja bisa. Menurutmu dari siapa
si kaki besar mendapatkan tiketnya? Kaki kecil begitu menekanku tak sabar hari
itu. Ia melangkah cepat setengah berlari ke kantor pos dekat rumah tinggalnya
untuk mengirimkan tiket kereta itu menyeberang negara. Kami tertawa bersama.
Percayalah padaku, kawan. Sepatu yang bagus akan membawamu
ke tempat yang bagus.
Waktuku telah habis. Sungguh aku tak ingin pertemuan
ini berakhir. Titik potong dua pasang sepatu dengan latar belakang sepertinya
tak berlangsung terlalu buruk. Tapi setiap menit pertemuan singkat ini berlalu
juga berarti hitungan mundur menjelang perpisahan. Sebuah titik pisah sekaligus
awal yang baru. Takkan ada yang tahu apakah akan ada lagi titik potong antara
aku dan boot hitam.
Berat rasanya mengantar boot hitam menghilang ditelan
eskalator turun menuju peron kereta arah ibukota negeri kincir angin sebelum
kembali ke negeri Hitler. Tapi aku tahu setidaknya kaki kecil bahagia pernah
memiliki satu hari ini. Hanya itu yang ia butuhkan.
Titik potong juga merupakan titik awal baru. Setiap
bagian yang dipertemukan akan melanjutkan hidup masing-masing. Empat hari lagi
aku harus angkat kaki dari sini. Aku dan boot hitam akan terpisah jarak puluhan
ribu kilometer. Ia masih harus menemani kaki besar menyelesaikan apapun yang
dimulainya di laboratorium komputer. Aku juga harus menemani kaki kecil
menyelesaikan penelitian dan memajukan pendidikan di negeri seribu pulau.
Aku berjalan menjauh dari tangga peron. Aku tak
menoleh lagi lalu menemani kaki kecil menyusuri jalan keluar dari stasiun.
Empat hari lagi kami akan kembali ke pangkuan hangat tanah khatulistiwa. Namun
ia telah mengukir janji. Kelak ia harus kembali. Mencipktakan jejak baru lagi. Memastikan
bahwa salju bukan dongeng pengusir sepi. Dan saat itu tiba, mungkin saja aku
tak lagi bersamanya.
Sepatu yang bagus memang akan
membawamu ke tempat yang bagus, kawan. Tapi sepasang kaki tangguhlah penentu
kemana ia akan menjejakkan sepatunya.
(afatsa)
No comments:
Post a Comment