Di sebuah kamar kontrakan berukuran 2x2 meter, diantara diktat kuliah yang berserakan di atas tempat tidur, di sanalah seorang manusia tengah bergulat dalam kebingungan merangkai kata untuk menuliskan siapa dirinya. Itulah aku.
Sebagai seorang manusia, terlau sulit menilai diri sendiri. Tulisan ini adalah sedikit tentang kontemplasi seorang anak manusia. Aku hanya salah satu orang yang tidak akan membuat khalayak menolehkan kepalanya padaku saat aku melintas, karena aku sadar aku tidak memiliki kapasitas sebagi seorang selebritis, tapi saat aku bertemu orang yang ku kenal, aku pasti membagi senyumku dengan tulus. Kapasitas akademikku juga tak begitu mencengangkan, meski tak pernah mendapat IPK di bawah 3,00. Aku termasuk dalam kategori sedang-sedang saja, karena di jurusan tempat aku memenuhi catatan kuliah, IPK 3,00 sangat mudah diperoleh. Cukup duduk manis saat kuliah, mendengarkan sambil manggut-manggut—entah mengerti ataupun tidak—lalu mengerjakan tugas dengan baik, menempuh UTS dan UAS dengan belajar yang cukup, maka dapat dipastikan bisa lulus.
Berada di awal-awal usia kepala dua, hidupku seperti seseorang yang ketinggalan kereta. Terengah karena harus memenuhi tuntutan lingkungan yang ‘memaksaku’ menuju sebuah kedewasaan, meski tertatih, aku harus terus melaju. Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat begitu banyak kesalahan yang kulakukan, kenaifan, dan kegetiran. Aku mendapati diriku yang belum benar-benar merdeka, aku masih sering terlalu serius memikirkan perkataan orang tentangku yang kerap kali membuatku pusing.
Aku masih harus melawan pikiran bahwa aku bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang berharga. Aku masih harus banyak berbenah untuk menyandang predikat dewasa. Bahkan, aku harus susah payah menahan air mata dan menyusutnya ketika aku merasa kesal terhadap sesuatu. Entah kapan aku mampu mengendalikan air yang ingin tumpah keluar pada episode hidupku mencapai scene emosional. Padahal aku sepenuhnya sadar, tangis takkan mengubah apapun. Sentimentil.
Aku termasuk salah satu orang yang akan berbinar mata saat melihat buku yang sedang sangat ingin dibaca, meski hanya sanggup menunggu antrean pinjam karena keterbatasan dana. Semoga saja pemerintah segera membuat kebijakan buku murah dan mudah dijangkau semua kalangan.
Riwayat kepenulisanku tak begitu buruk, sebuah opini tentang guru dimuat di majalah pendidikan kabupaten tempat aku tumbuh, sebuah piala dan tas selempang sebagai tanda penghargaan juara 1 menulis surat untuk ibu, juara lomba menulis cerpen tingkat sekolah, kumpulan puisi yang beberapa telah kupublikasikan di blog dan proyek novel yang terus tertunda karena tumpukan tugas diferensial dan integral.
Riwayat kepenulisanku tak begitu buruk, sebuah opini tentang guru dimuat di majalah pendidikan kabupaten tempat aku tumbuh, sebuah piala dan tas selempang sebagai tanda penghargaan juara 1 menulis surat untuk ibu, juara lomba menulis cerpen tingkat sekolah, kumpulan puisi yang beberapa telah kupublikasikan di blog dan proyek novel yang terus tertunda karena tumpukan tugas diferensial dan integral.
Tak ada yang istimewa, kecuali kenyataan bahwa aku telah menyelesaikan tugas dasar seorang pencari kebenaran. Jauh sebelum aku melakukan klaim terhadap kebenaran yang saat ini kuyakini, aku telah menyelesaikan persamaan nonlinier fundamental manusia : darimana kita berasal, kemana langkah kita akan tertuju, dan kemana kita akan pulang setelah sisa usia kita habis. Jawaban ketiga pertanyaan itu telah menuntunku menemukan kebanggaan.
Ketika banyak menusia limbung menemukan hakekat hidupnya, kesulitan menemukan dirinya, aku sudah hidup sebagai diriku sendiri. Hidup dengan kesadaran penuh bahwa aku tak lebih dari sebuah titik kecil di jagad raya, seseorang yang tak layak menyombongkan diri dan harus tunduk pada aturanNya.
Ketika banyak menusia limbung menemukan hakekat hidupnya, kesulitan menemukan dirinya, aku sudah hidup sebagai diriku sendiri. Hidup dengan kesadaran penuh bahwa aku tak lebih dari sebuah titik kecil di jagad raya, seseorang yang tak layak menyombongkan diri dan harus tunduk pada aturanNya.
Keberadaanku yang bukan siapa-siapa justru membuatku mampu bersyukur atas keadaanku. Aku sangat yakin aku masih punya banyak orang di sekelilingku yang menyayangiku, andaikan semuanya pergi aku masih punya satu yang takkan pernah meninggalkanku, Sang Maha Pemilik Hidup, tempat aku menyandarkan hati, karena Dialah pemilikku, pemilik hidupku.
Keberadaanku yang biasa membuatku mengerti bahwa kesederhanaan akan membentukku jadi bersahaja dan bijak, menjadi pengamat kehidupan sekitarku, memetik hikmah dalam tiap langkah. Kesadaran yang menuntun mataku memandang ke atas dan ke bawah, bahwa dunia itu adil, dan aku tak diciptakan Allah sia-sia.
Keberadaanku yang biasa membuatku mengerti bahwa kesederhanaan akan membentukku jadi bersahaja dan bijak, menjadi pengamat kehidupan sekitarku, memetik hikmah dalam tiap langkah. Kesadaran yang menuntun mataku memandang ke atas dan ke bawah, bahwa dunia itu adil, dan aku tak diciptakan Allah sia-sia.
Aku yang saat ini menulis di depan komputer adalah aku yang lebih baik dari sebelumnya, aku bangga karena untuk menjadi seperti sekarang hidup aku harus melewati dengan tawa, getir, dan tangis. Aku bangga telah menempuh prosesnya. Aku menyadari perjalanan yang telah kulalui—sepahit apapun itu—telah membentukku menjadi seperti sekarang, tak ada alasan untuk menyesali yang telah terjadi. Seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa menerima diriku apa adanya.
Seperti yang dikatakan A.J. Cronin bahwa kehidupan bukanlah jalan yang lurus dan mudah dilalui, dimana kita bisa pergi bebas tanpa halangan, namun berupa jalan-jalan sempit yang menyesatkan. Kita harus mencari jalan, tersesat dan bingung seperti menemui jalan tak berujung. Namun jika kita yakin, pintu pasti akan dibukakan untuk kita, mungkin bukanlah pintu yang selalu kita inginkan tapi pintu yang akhirnya akan terbaik untuk kita.
Dunia boleh berjalan tidak sesuai keinginan kita, tapi kita harus berjalan sesuai dengan yang kita dan Allah inginkan. Aku tak pernah memilih lahir di dunia yang tengah memburuk, karena kelahiran seorang manusia adalah misteri. Namun, aku memilih untuk mengubahnya dengan tangan kecilku, perjuangan yang semoga dapat menambah daftar perbuatan berstempel baik saat seluruh manusia menyerahkan Laporan Pertanggungjawaban Paripurna. Aku akan membangunkan yang tidur, menggerakkan yang bangun, dan membijaksanakan yang bergerak.
I will never know my self until I do this on my own
I will never feel anything else until my wounds are healed
I will never be anything till I break away from me
I will break away, I’ll find my self today
Somewhere I belong—linkin park
I will never feel anything else until my wounds are healed
I will never be anything till I break away from me
I will break away, I’ll find my self today
Somewhere I belong—linkin park
Afatsa, 19 februari 2008
Tulisan untuk Open Recruitment Tabloid Kampus Gema
No comments:
Post a Comment