Wednesday, 1 July 2009

Gadis Minyak Kayu Putih

Namanya Fa. Suatu sore ia pergi mengunjungi Perpustakaan Daerah di kota tempat ia tinggal. Hari itu ia agak kurang enak badan, maka ia membawa minyak kayu putih. Dari sinilah kisah itu bermula.

Penjaga perpustakaan mencium bau yang tak biasa berkomentar, “wah, aku jadi ingat anakku.”
Kontan saja 2 orang pengunjung perpus yang tengah mengakses internet menoleh ke sumber suara.
Tak jauh dari situ, 2 pengunjung lain saling tuduh bahwa salah satu dari mereka memakai minyak kayu putih.
Fa sadar bahwa minyak kayu putih menimbulkan keributan kecil sore itu.
Sepertinya untuk menjadi selebritis tak harus memakai minyak wangi produksi Prancis, cukup bermodal minyak kayu putih. :)

Tak berhenti dengan tragedi di awal kedatangannya, gadis minyak kayu putih itu membuat kehebohan kedua.
Fa terbiasa membawa air mineral jika berpergian, kali inipun begitu.
Di saat sedang asyik berkutat dengan internet, tiba-tiba orang yang duduk di sampingnya berseru kaget, ”wah, air....”
Ternyata air mineral Fa tumpah.
Secara refleks, 2 orang yang sedang ngenet langsung mengangkat laptopnya serempak.
Fa kemudian mencari sesuatu untuk mengelap genangan air tersebut.
Ternyata Fa benar-benar memiliki bakat untuk menjadi pusat perhatian.
Padahal Fa tidak sedang bercerita. Asal tahu saja, Fa memiliki suara stereo dan cara yang unik saat menceritakan sesuatu sehingga menarik orang di sekitarnya untuk mendengarkan ia berbicara.

Fa yang lucu.
Karena jarak memisahkan kami, Fa menceritakan kejadian sore itu melalui sms.
Ah, cerita semacam inilah yang menjadi cahayanya untuk dirindukan teman-temannya.
Seperti kata Al, setiap orang punya cahayanya sendiri untuk dirindukan yang lain, karena yang satu takkan tergantikan oleh yang lain.

-untuk Fa-

Monday, 4 May 2009

Semester tUjUh

Semester tujuh membuatku benar-benar membuatku sibuk. Beberapa waktu setelah aku membuat kontrak lisan untuk memulai skripsi kepada dosen yang juga tengah membimbing WD, aku limbung.
Masalah satu demi satu menghampiriku.
kesehatanku merosot ke titik dimana aku dulu pernah jatuh...
dua mata kuliah seminar yang tak bisa dibilang mudah.
konflik yang terpercik antara aku dan sahabatku di saat aku baru berjalan di sisinya...
simpul-simpul kecil yang belum terurai....
semuanya menyita hampir seluruh perhatianku, menuntut selesai dalam jeda singkat dan harus dipikirkan dengan kapasitas otakku yang sangat terbatas.
membuat cicilan skripksiku menjadi turun peringkat menjadi urutan terakhir.
Aku bahkan tak tahu harus beralasan andai dosen pembimbingku menanyakan keseriusanku, untunglah beliau tak bertanya, dan aku takkan mungkin menceritakan alasanku. Biarlah aku ingkar terhadap komitmenku, sekali ini saja, saat aku tak lagi bisa mengontrol semua.
Akhir tahun yang berat ketika aku harus bergulat dengan pikiranku untuk mengambil beberapa keputusan. Aku tak sanggup berdiri rasanya. Aku rapuh. Saat itu, Sang Pencipta Semesta meminjamkan kekuatanNya untukku, kekuatan yang dititipkan melalui tiga orang aneh yang masih mau menerimaku. And life must go on....

sesuatu yang tertunda untuk ditulis....
lagu yang ku pasang di friendsterku saat itu adalah Untitled dari Simple Plan.
Lagu yang belum sempat ku ganti sampai sekarang.

22042009

Saturday, 18 April 2009

The Sign

Orang selalu mengatakan waktu mengubah segalanya, tapi sebenarnya kitalah yang harus mengubahnya sendiri.
Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. Tetapi acap kali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita.

Lantas, bagaimana kita tahu pintu mana yang terbuka untuk kita?

Dulu aku juga sering bertanya-tanya ketika dihadapkan pada masalah pengambilan keputusan. Salah seorang sahabat kemudian bilang bahwa akan ada tanda keputusan mana yang harus kita ambil. Saya lalu bertanya, tanda berupa apa? Dia juga tak bisa menjelaskannya.

Namun, ketika aku akan mengambil suatu keputusan yang beberapa waktu menggangguku, aku kemudian mengirim sms padanya.
”aku mengambil keputusan ini, pertimbanganku begini, aku mengerti tanda itu.”
Tanda yang akan menuntun kita pada kemantapan hati dan keyakinan. Mungkin berasal dari saran orang lain atau kejadian yang menimpa kita. Sejak saat itu, saku mulai belajar mengenali tanda.

Ternyata tanda tak hanya berguna dalam pengambilan keputusan. Pernah suatu hari aku dan sahabatku begitu ragu akan keputusan yang telah kami buat, ragu atas kemampuan kami, kami limbung karena begitu banyak hambatan yang akan menghadang. Hari itu kami mengikuti pertemuan yang digagas oleh dosen kami untuk sharing pengetahuan. Di akhir pertemuan, beliau mengutip perkataan seorang tokoh.
”ketika kita dihadang, bersyukurlah, karena di sanalah letak ilmu. Seringkali kreativitas itu muncul ketika kita dihadang.”
Beliau kemudian menambahkan pendapatnya bahwa halangan itu bermuara pada dua hal, kreativitas atau menyeret kita pada keputusasaan. Aku menoleh pada sahabatku, tanpa mengatakan apapun kami saling mengerti. Entah kenapa, ungkapan dosen kami jadi semacam tanda yang dikirim di saat yang tepat untuk membisikkan semngat pada kami agar tidak menyerah. Dan kami memang tidak menyerah, tak terpatahkan, seperti iklan shampo di televisi. Unbreakable.

-insomnia-
17 aPril 2009 00:11
Di kamar My Partner In Crime (WD) sekalian pinjam komputer.

SKRIPSI SYNDROME

Deadline mulai menjadi sesuatu yang lebih manakutkan dari apapun. Bahkan ketika berhembus kabar tentang batas akhir uji kelayakan proposal skripsi, teman-teman kembali berhadapan dengan deadline.

Kadang-kadang kasihan juga melihat tampang merana mereka, tak berdaya karena menanti dosen pembimbing yang tak kunjung datang. Tapi di antara saat-saat tegang pengerjaan proposal, ada banyak hal yang masih dapat membuat kami tertawa. Bukan malah berubah menjadi seseorang yang lebih serius, ketegangan semester akhir justru banyak meningkatkan daya humoris kami. Ternyata tertawa bersama, menertawakan kekalutan diri bisa membantu mereduksi stres.

Kami pun saling menghibur, saling menguatkan, berbagi ide, saran, bahkan membangun aliansi bagi para mahasiswa yang memiliki judul proposal mirip. Misalnya aliansi penulis proposal penelitian pengembangan, aliansi penelitian identifikasi proses berfikir, atau lainnya. Dengan bergabung dalam aliansi, kami bisa saling pinjam buku, berbagi referensi. Segala sesuatu tentu akan lebih mudah jika dipikul bersama kan? 

That what’s friend are for.......

PrObLeM iS a fRiEnD

Masalah adalah bagian dari kehidupan manusia. Menghadang di depan sisi lemah manusia. Perjuangan melawan masalah selalu berujung pada dua hal, menguatkan manusia dan mengajarkannya hal baru dalam hidup ataukah menyampakkan manusia ke titik negatif bernama putus asa.

Jika masalah mampu membantu kita menemukan kekuatan tersembunyi diri, maka kita telah kembali ke titik nol. Titik netral dimana kita bisa memandang dunia dengan adil. Menilai kelemahan kita, menyandarkan diri pada tempat yang layak untuk kita bersandar. Sang Peniup Nafas. Titik nol akan menuntun kita ke dalam kebijakan yang kadang sulit kita mengerti darimana asalnya. Tidakkah kita ingat siapa yang menghembuskan kebenaran dalam dinding hati kita?

MEMBUNUH BOSAN

Aku benar-benar merasa bosan. Selepas pulang dari menginap di rumah teman aku kembali terdampar di kamar kost. Sendiri, entah penghuni lain menghilang kemana. Aku hanya berbaring di atas kasur (lie on the bed yang sering bikin iri temanku) dan ngobrol via sms dengan MLF (my lovely friend). Akhirnya aku kirimkan sms kepada MLF dan Al. Keduanya adalah sahabatku.

Begini isi sms yang kukirim untuk mereka:
Ada ide membunuh bosan?

Al membalas:
Menyibukkan diri
(aku sedang malas menyentuh tugas mata kuliah apapun)
Membantu orang lain
(woi, ada yang butuh bantuan nggak?)
Menyadari kebosanan yang terjadi
(Al, aku benar2 sadar kalau aku sedang bosan)
Berusaha merasakan kebosanan
(apanya yang diarasakan?)
Mencintai kebosanan itu sendiri
(sejak kapan ada sejarah manusia mencintai kebosanan? Ada-ada aja)
Selamat Mencoba
(makasih tipsnya, makin lama bahasa sahabatku ini makin mirip gaya bahasa dosen mata kuliah Analisis Real saat kami semester lima. Pak, engkau menginspirasi kami!)
Kami beberapa kali saling berkirim sms khas akhir pekan, ngobrol santai.
I’m still lying on the bed…

Thursday, 2 April 2009

Just an Ordinary Person with an Ordinary Life

Di sebuah kamar kontrakan berukuran 2x2 meter, diantara diktat kuliah yang berserakan di atas tempat tidur, di sanalah seorang manusia tengah bergulat dalam kebingungan merangkai kata untuk menuliskan siapa dirinya. Itulah aku.
Sebagai seorang manusia, terlau sulit menilai diri sendiri. Tulisan ini adalah sedikit tentang kontemplasi seorang anak manusia. Aku hanya salah satu orang yang tidak akan membuat khalayak menolehkan kepalanya padaku saat aku melintas, karena aku sadar aku tidak memiliki kapasitas sebagi seorang selebritis, tapi saat aku bertemu orang yang ku kenal, aku pasti membagi senyumku dengan tulus. Kapasitas akademikku juga tak begitu mencengangkan, meski tak pernah mendapat IPK di bawah 3,00. Aku termasuk dalam kategori sedang-sedang saja, karena di jurusan tempat aku memenuhi catatan kuliah, IPK 3,00 sangat mudah diperoleh. Cukup duduk manis saat kuliah, mendengarkan sambil manggut-manggut—entah mengerti ataupun tidak—lalu mengerjakan tugas dengan baik, menempuh UTS dan UAS dengan belajar yang cukup, maka dapat dipastikan bisa lulus.
Berada di awal-awal usia kepala dua, hidupku seperti seseorang yang ketinggalan kereta. Terengah karena harus memenuhi tuntutan lingkungan yang ‘memaksaku’ menuju sebuah kedewasaan, meski tertatih, aku harus terus melaju. Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat begitu banyak kesalahan yang kulakukan, kenaifan, dan kegetiran. Aku mendapati diriku yang belum benar-benar merdeka, aku masih sering terlalu serius memikirkan perkataan orang tentangku yang kerap kali membuatku pusing.
Aku masih harus melawan pikiran bahwa aku bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang berharga. Aku masih harus banyak berbenah untuk menyandang predikat dewasa. Bahkan, aku harus susah payah menahan air mata dan menyusutnya ketika aku merasa kesal terhadap sesuatu. Entah kapan aku mampu mengendalikan air yang ingin tumpah keluar pada episode hidupku mencapai scene emosional. Padahal aku sepenuhnya sadar, tangis takkan mengubah apapun. Sentimentil.
Aku termasuk salah satu orang yang akan berbinar mata saat melihat buku yang sedang sangat ingin dibaca, meski hanya sanggup menunggu antrean pinjam karena keterbatasan dana. Semoga saja pemerintah segera membuat kebijakan buku murah dan mudah dijangkau semua kalangan.
Riwayat kepenulisanku tak begitu buruk, sebuah opini tentang guru dimuat di majalah pendidikan kabupaten tempat aku tumbuh, sebuah piala dan tas selempang sebagai tanda penghargaan juara 1 menulis surat untuk ibu, juara lomba menulis cerpen tingkat sekolah, kumpulan puisi yang beberapa telah kupublikasikan di blog dan proyek novel yang terus tertunda karena tumpukan tugas diferensial dan integral.
Tak ada yang istimewa, kecuali kenyataan bahwa aku telah menyelesaikan tugas dasar seorang pencari kebenaran. Jauh sebelum aku melakukan klaim terhadap kebenaran yang saat ini kuyakini, aku telah menyelesaikan persamaan nonlinier fundamental manusia : darimana kita berasal, kemana langkah kita akan tertuju, dan kemana kita akan pulang setelah sisa usia kita habis. Jawaban ketiga pertanyaan itu telah menuntunku menemukan kebanggaan.
Ketika banyak menusia limbung menemukan hakekat hidupnya, kesulitan menemukan dirinya, aku sudah hidup sebagai diriku sendiri. Hidup dengan kesadaran penuh bahwa aku tak lebih dari sebuah titik kecil di jagad raya, seseorang yang tak layak menyombongkan diri dan harus tunduk pada aturanNya.
Keberadaanku yang bukan siapa-siapa justru membuatku mampu bersyukur atas keadaanku. Aku sangat yakin aku masih punya banyak orang di sekelilingku yang menyayangiku, andaikan semuanya pergi aku masih punya satu yang takkan pernah meninggalkanku, Sang Maha Pemilik Hidup, tempat aku menyandarkan hati, karena Dialah pemilikku, pemilik hidupku.
Keberadaanku yang biasa membuatku mengerti bahwa kesederhanaan akan membentukku jadi bersahaja dan bijak, menjadi pengamat kehidupan sekitarku, memetik hikmah dalam tiap langkah. Kesadaran yang menuntun mataku memandang ke atas dan ke bawah, bahwa dunia itu adil, dan aku tak diciptakan Allah sia-sia.
Aku yang saat ini menulis di depan komputer adalah aku yang lebih baik dari sebelumnya, aku bangga karena untuk menjadi seperti sekarang hidup aku harus melewati dengan tawa, getir, dan tangis. Aku bangga telah menempuh prosesnya. Aku menyadari perjalanan yang telah kulalui—sepahit apapun itu—telah membentukku menjadi seperti sekarang, tak ada alasan untuk menyesali yang telah terjadi. Seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa menerima diriku apa adanya.
Seperti yang dikatakan A.J. Cronin bahwa kehidupan bukanlah jalan yang lurus dan mudah dilalui, dimana kita bisa pergi bebas tanpa halangan, namun berupa jalan-jalan sempit yang menyesatkan. Kita harus mencari jalan, tersesat dan bingung seperti menemui jalan tak berujung. Namun jika kita yakin, pintu pasti akan dibukakan untuk kita, mungkin bukanlah pintu yang selalu kita inginkan tapi pintu yang akhirnya akan terbaik untuk kita.
Dunia boleh berjalan tidak sesuai keinginan kita, tapi kita harus berjalan sesuai dengan yang kita dan Allah inginkan. Aku tak pernah memilih lahir di dunia yang tengah memburuk, karena kelahiran seorang manusia adalah misteri. Namun, aku memilih untuk mengubahnya dengan tangan kecilku, perjuangan yang semoga dapat menambah daftar perbuatan berstempel baik saat seluruh manusia menyerahkan Laporan Pertanggungjawaban Paripurna. Aku akan membangunkan yang tidur, menggerakkan yang bangun, dan membijaksanakan yang bergerak.
I will never know my self until I do this on my own
I will never feel anything else until my wounds are healed
I will never be anything till I break away from me
I will break away, I’ll find my self today
Somewhere I belong—linkin park


Afatsa, 19 februari 2008

Tulisan untuk Open Recruitment Tabloid Kampus Gema