Saturday, 23 April 2016

Lelaki Pesisir

Ia menyisir rambutnya yang berantakan. Garis matanya yang agak sipit itu semakin memicing melawan sengat matahari. Tapi senyumnya mengembang, tak surut.

Desir angin, birunya langit, dan bias biru laut utara Jawa menyaksikannya berkisah. Tentang nelayan bersiap menjemput tangkapan. Sesekali ceritanya disela alunan musik dangdut koplo meliuk-liuk dari kapal nelayan yang berangkat. Tawa kami terburai.

Kami berdiri cukup dekat tapi juga cukup jauh. Ia masih melanjutkan kisahnya tentang pertarungan nelayan, jenis-jenis jaring yang digunakan saat menjala makhluk-makhluk laut yang berakhir di piring kita. Aku tak bisa mengingat semuanya, tapi mendengarnya bercerita saja sudah membuatku bahagia.

***

"Sederhana. Satu kata itu mewakilimu di mataku," tulisnya suatu hari.

Sekarang aku menyadari bahwa ternyata caranya menatap dunia yang sebenarnya sederhana. Sesuatu yang bisa dijalani dan dipermudah tak perlu dipersulit.
Sulit sekali membuatnya bercerita. Tapi jika ia tertarik pada sesuatu, ia akan berkisah panjang lebar. Ia bahkan penuh semangat menceritakan tentang isi novel lawas berlatar pesisir tempat ia dibesarkan. Sudah lama aku penasaran dengan novel itu, dan ocehannya kali ini hanya membuatku ingin segera membacanya. Tentu saja dia mengakhiri ceritanya dengan, pokoknya begitulah kira-kira.

***

Perkenalan kami sedikit aneh jika diingat. Aku berkomentar tentang kesalahan dia menambahkan imbuhan pada satu kata di tulisannya. Percakapan kami lalu meluber, meluas dan melebar. Tentang buku, novel, pemikiran politik, isu-isu pendidikan, dan kadang tentang kawan-kawan kami yang saling beririsan.

Lelaki pesisir itu menodongku membeli bukunya. Bahkan memintaku meresensi isinya. Dia meracuniku dengan buku-buku non fiksi yang dulu sama sekali tak kunenali judulnya. Dia memunculkan inginku menelusuri halaman novel lawas karya satu sastrawan besar Indonesia. Tetralogi yang memahamkanku betapa kerennya penulis ini karena sampai sekarang kisah yang ia tulis masih relevan dengan kondisi negeri ini sekarang. Ah, pria ini perlahan menuntunku jatuh hati makin dalam pada buku dan kata-kata.

***

Di pesisir aku menelusuri dan mengingat kembali perjalanan kami. Lebih dari seribu empat ratus ratus hari. Percakapan kami berpindah dari satu layar ke layar lain. Tak lebih dari hitungan jemari kami benar-benar bertemu bertatap muka. Jalan kami ternyata menuju tujuan yang sama. 

Keputusan diambil. Canggung tiba-tiba menggunung, karena kesadaran bahwa kami telah saling jatuh hati. Pertemanan yang panjang perlahan berubah menjadi satu kepastian yang tak terduga. Benarlah kata seorang penulis bahwa urusan perasaan sebenarnya sederhana. Cukup dipastikan saja.

Lelaki pesisir itu telah datang ke rumah, bahkan sebelum purnama. Waktu dimana bulan mekar dan nelayan mengambil jeda. Janji akan segera diikat. 

Dan jika saat itu tiba, aku akan benar-benar mengakui perasaanku padanya.

afatsa
23.04.2016

1 comment:

  1. khasmaran, bahasa kode yang terbaca bagi pihak2 yang bertautan..

    ReplyDelete