Rasa takut menyergapnya. Sesekali ia menoleh dan menyaksikan bayangannya terbelah, jadi dua. Ia memastikan sekali lagi. Mendadak satu bayangannya menghitam, meninggi, lalu menyergapnya ke pusaran gelar. Lelaki itu tumbang.
***
Berlarilah ke arah cahaya, terdengar suara bisikan jauh.
Gelap turun.
Susah payah ia berdiri. Kali ini malam menyembunyikan bayangan-bayangan miliknya.
Sambutlah cahaya, jemputlah cahaya. Suara jauh menghampiri telinganya.
Satu. Dua. Seratus. Ia bosan menghitung langkah.
Ia habiskan sepanjang malam berjalan melawan lelah. Sekedar mencari cahaya penyembuh yang dijanjikan.
***
Habis semua bekal. Ia masih menggenggam hatinya yang luka.
Belahan bayangannya muncul bersama terbitnya matahari. Ia meronta, melepaskan diri dari cengkeraman bayangan hitam. Semakin ia melawan, goresan lukanya bertambah. Tangannya menggapai. Mengingat satu wajah baru yang telah lama ia kenal. Ingatan tentang senyum yang menenangkan, bahwa cahaya penyembuh ada di ujung perjalanan.
Kali ini ia tenggelam dalam ingatan. Tak ia hiraukan bayangan hitam yang menelannya pelan-pelan. Ia bahkan sama sekali tidak melawan!
Ia relakan hatinya. Senyumnya mengembang, mengingat wajah ayu menentramkan. Janji genggam tangan seandainya ia bisa mengenyahkan si bayangan sialan. Ia tak peduli lagi jika bayangan hitam membawanya pergi, ia telah memantapkan hati. Perempuan sederhana itu yang terakhir mengisi jiwanya.
Ia rela. Ia genggam bayangan hitam, ia peluk seolah kawan lama yang tak berjumpa. Ia pejamkan mata dan menerima dalam kelapangan.
Tiba-tiba cahaya putih menyambutnya. Terang tak membutakan, hangat memeluknya. Lelaki itu merangkul bayangan keduanya makin erat. Lukanya perlahan menghilang. Bayangannya utuh kembali.
Cahaya putih menjelmakan sebuah wajah. Mengulurkan tangan untuk ia genggam. Bayangan hitam menyusut. Menyisakan titik kecil dalam bayangan utuh miliknya. Berlajan ia bersisian dengan perempuan pemilik wajah penuh tenang.
afatsa
27.04.2016
No comments:
Post a Comment