….
"Hati-hati, sayang," nada khawatir terdengar dari Revan saat membukakan pintu mobil untukku.
Tubuhku masih merasakan sakit. Lelah dan berat sekali rasanya. Sepanjang perjalanan kami hanya membisu. Aku mengalihkan perhatianku pada jalanan yang kami lewati.
Tepat saat kami melintasi sebuah galeri lukisan di seruas trotoar, aku berguncang mengingat sesuatu.
"Are you okay, sweetheart?"
Aku menoleh dan menatap mata Revan. Cemas. Ia sungguh-sungguh cemas. Aku mengangguk.
Gambar-gambar, foto, musik, rasa sakit dan lelahku. Ingatan-ingatan berkelebat cepat. Membangunkan kesadaranku perlahan. Kesadaran yang membuatku takut dan sedih.
Revan, mengapa kisah cinta kita harus begini. Dari ratusan pasang kekasih, mengapa aku harus mencintaimu. Mengapa kau mencintaiku begini. Airmataku luruh.
***
"Sebaiknya kamu istirahat saja. Mau aku buatkan teh melati? Nanti kita bisa minum bersama. Mungkin aku bisa menghiburmu agar kamu tidak sedih lagi. Hmm?" Revan mendudukkanku di sofa ruang tengah.
"Aku ingin pulang. Bukankah tidak seharusnya…aku…di..sini…?" tanyaku ragu.
Revan menghentikan langkahnya menuju dapur lalu berbalik. Wajahnya kaku menahan marah. Pandangannya jatuh ke arah aku menautkan kedua tanganku erat, di atas pangkuanku. Tiba-tiba wajahnya melunak.
"Ini rumah kita, Diba. Dan akan selalu begitu. Rumah tempat pulang mana lagi yang kamu inginkan?"
Revan menghampiriku, berlutut dan meletakkan tangannya di atas tanganku.
"Dua tahun, Diba. Selama itu aku tak pernah sekalipun tidak memikirkanmu. Sekarang jelas sekali apa yang aku inginkan. Tinggallah kembali bersamaku, kembali ke tempat terbaikmu. Tempat yang tak satu pria pun bisa memberikannya padamu, kecuali aku."
Diambilnya tangaku dan dibawanya dekat ke jantungnya.
"Di sinilah rumahmu. Dan selalu begitu."
***
Revan membiarkanku istirahat di kamar kami. Pintu kamar hanya ditutup tapi tak terkunci. Tapi aku mendengar Revan hilir mudik di dekat kamar.
Sekeras apapun aku ingin melepaskan lelahku, aku tak bisa memejamkan mata. Aku duduk di tepi ranjang dan memikirkan banyak hal. Ide-ide bermunculan di kepalaku, tak ada satupun yang masuk akal. Tak satupun ku temukan cara aku keluar dari sini. Tapi aku harus keluar. Aku harus mencari pertolongan. Bukan hanya untukku tapi juga untuk Revan.
***
"Tolooooong," aku berteriak sekuatku.
Revan masuk menyerbu kamar terburu-buru, "Ada apa, Diba?"
"Sepertinya ada hewan di bawah situ," tunjukku ke arah kolong ranjang sementara aku ketakutan berdiri di atasnya.
Tepat saat Revan membungkuk dan melongok ke bawah, ku layangkan tendangan kuat-kuat ke arah punggungnya. Revan terjengkang ke depan, tubuhnya membentur lantai. Ku rebut segebok kunci dan ponsel dari tangan Revan.
Aku berlari keluar kamar dan segera mengunci pintu dari sisi luar. Gemetar tanganku menggenggam anak kunci yang sangat ku hafal.
"Diba, buka pintunya, kamu kenapa?" Revan menggedor pintu, "buka pintunya, sayang…"
Revan memohon.
Aku tergugu menyandarkan punggungku di daun pintu.
"Maafkan aku, Revan. Aku akan mencarikan pertolongan untukmu."
Kali ini Revan meledakkan amarahnya.
"Aku tak butuh bantuan dari siapapun!"
Tangisku makin keras.
"Sayang, tidak harus begini kan? Kumohon buka pintunya dan kita bisa memperbincangkan semuanya."
"Maaf, Revan. Aku mencintaimu, tapi tidak seperti ini. Aku ingin kamu cintai, tidak seperti ini."
Pintu digedor semakin keras. Waktuku tak banyak sebelum Revan menjebol pintunya. Aku berlari meninggalkan rumah ini. Mengunci kembali setiap pintu yang aku buka.
Sampai di halaman aku menoleh lagi, "maafkan aku, Revan…"
***
"Ada yang bisa kami bantu?" suara di seberang menyahut setelah nada sambung.
"Saya ingin mendaftarkan pasien kejiwaan untuk konseling dan terapi, atas nama Revan…"
To be continued
Hai, Tulisan ini adalah bagian dari Story Blog Tour 2 dari OWOP 1. Saya, Afatsa, mengemban tugas menuntaskan episode ke 12 dalam rangkaian kisah ini.
Silakan dibaca juga episode pertama sampai kesebelas dan nantikan kelanjutannya di episode berikutnya. Cek tautan di bawah ini untuk membaca kisah lengkapnya.
Ep 12, Cinta Tak Begini, by Afatsa
Ep 13, kisah berikutnya di blog AlFikri Fauzi
No comments:
Post a Comment