Hujan tumpah ruah tak menyisakan sedikitpun tanah kering. Air menganak sungai memenuhi ruang-ruang bervolume yang menengadah kosong. Aku mengintip lewat kaca jendela kaca yang juga dipenuhi titik-titik tempias hujan.
Langkah-langkah panjang Hudan di bawah payung warna-warni mendekat ke arah rumah. Kepala Hudan melongok lewat pintu dan mengangsurkan keranjang terbungkus plastik berisikan makanan yang dibawanya dari rumah kakak ipar padaku. Setelah menaruh bungkusan di atas meja, aku menoleh. Hudan masih berdiri di ambang pintu.
"Hujan-hujanan yuk," ajak Hudan sambil menyunggingkan senyum dan mengulurkan tangannya. Senyum sejenis tawaran keusilan dan kekanakan yang susah ditolak.
"Hujannya deras sekali, nanti kedinginan trus sakit lho," sahut Emak yang dari tadi mengamati kami, "lebih baik berdiam di rumah."
Hudan menggerakkan kepala isyarat mengajakku lagi. Segera ku ambil kerudung dan berjalan ke arah pintu.
"Mak, saya ikut mas hujan-hujanan," aku lalu pergi meninggalkan Emak yang masih bingung melihat kelakuan anak dan menantunya.
***
"Ke pelabuhan yuk," Hudan menggandeng tanganku.
Kami menyeberang jalan raya tepat depan rumah. Beberapa puluh meter sebelum sampai ke pintu masuk pelabuhan, Hudan menghentikan langkahnya.
Wajahnya ragu, "ke pelabuhan atau ke selatan ya?"
"Selatan?" tanyaku.
"Ada tanah lapang disana," sahut Hudan sambil mengusap wajahnya yang basah tertimpa hujan.
"Aku nurut aja deh,"
Kami balik kanan dan menyeberang kembali. Hudan berhenti di depan pintu rumah dan melepaskan sandalnya. Tapi ia menggeleng memberi isyarat agar aku tetap memakai sandalku. Hudan lalu memanduku menyusuri gang-gang berliku. Jalanan dipenuhi genangan air lebih tinggi dari mata kaki kami.
Kami berpapasan dengan orang-orang berpayung. Beberapa melangkah terburu-buru. Pintu demi pintu rumah kami lewati, tak sedikit penghuninya melongok lewat bingkai pintu. Memasang tampang heran ada sepasang manusia dewasa menghabiskan sore berhujan-hujanan.
"Hud, ngapain itu istrinya diajak hujan-hujan," sapa salah satu tetangga kami. Hudan hanya nyengir dan tertawa.
Kami meneruskan perjalanan sampai langkah Hudan berhenti di depan sebuah rumah.
"Darsa, ayo hujan-hujanan ke tanah lapang di selatan!" panggil Hudan kepada teman sepermainannya. Ternyata ia sedang mencari bala tentara untuk diajak main hujan.
Beberapa anak-anak berlarian ke arah gang tempat kami menunggu sahutan dari dalam. Rumah lain di seberang tempat tinggal Darsa terlihat seorang balita malu-malu menatap kami. Ibunya berdiri di sebelahnya menggelengkan kepala.
"Duh, om Hudan ini bagaimana sih, kasihan kan istrinya kedinginan diajak main hujan."
Setelah menoleh ke sumber komentar, Hudan mendekat dan menyapa bocah laki-laki pemalu itu, "Ayo, Kali, ikut ke tanah lapang yuk, enak lho hujan-hujanan."
Bocah itu hanya menatap Hudan dan ibunya bergantian. Ibunya hanya tersenyum, tidak mengiyakan tapi juga tidak melarang.
Anak-anak lain masih berlarian di sepanjang gang. Hudan beralih mendekati rombongan empat bocah lelaki itu. Ia tampak berbisik kepada salah satu diantaranya. yang ku tahu bernama Inun.
Inun lalu berlari ke arah Kali yang masih bimbang, bersamaan dengan Darsa yang keluar dari rumahnya. Kali akhirnya terbujuk juga oleh temannya. Berlima kami berhujan-hujan. Menyusuri jalanan berbukit dan melawan arus air mengalir ke jalanan yang lebih rendah.
Sesekali Darsa dan Hudan memperingatkan Inun dan Kali agar minggir ke tepi jalan supaya tidak tertabrak pengendara motor yang memacu motornya cukup cepat. Tanah lapang terlihat setelah kami melewati pasar. Lapangan berumput yang biasanya digunakan bermain sepak bola kini dipenuhi genangan air. Beberapa remaja laki-laki bermain bola diantara genangan air.
Kami berlima melanjutkan perjalanan di bawah guyuran hujan. Kami mampir ke kompleks sekolah di sebelah lapangan. Sekolah menengah tempat Hudan dulu bersekolah.
Kami masih menikmati guyuran hujan. Hudan mengajak Inun dan Kali membasuh diri menggunakan air kran yang relatif lebih hangat dibanding hujan.
Kami bergabung dengan beberapa remaja lain yang juga tengah hujan-hujanan di lapangan milik sekolah. Aku masih manikmati bulir hujan yang turun satu-satu saat melihat Inun menggigil.
"Hudan, kasihan tuh Inun kedinginan, bibirnya sampai biru gitu," seruku.
Hudan menoleh ke arah Inun, "Sini, ayo berteduh di teras kelas"
Inun merapatkan kedua lengannya dan menaiki undakan depan kelas. Hudan menampung air dari kran di halaman kelas menggunakan telapak tangannya lalu mengguyurkannya ke tubuh Inun. Air kran pasti lebih hangat daripada hujan.
Kami masih menikmati bulir-bulir hujan beberapa saat sampai Darsa berseru, "Pulang yuk, kasihan tuh si Inun kedinginan."
Rombongan bergerak meninggalkan sekolah. Hudan menawarkan untuk menggendong Inun, tapi bocah kecil itu menggeleng kuat-kuat. Tawa kami berhamburan saat Inun menggigil tepat setelah ia selesai menggeleng. Ia pun tampak malu-malu saat Hudan dengan sigap menggendong dan memeluk Inun.
Langit boleh mendung atau hujan turun, tapi hatiku menghangat dan sore terasa indah sekali. Aku menyukainya, menyukai caranya memeluk Inun. Didekapnya sambil sesekali diciuminya pipi gembul Inun. Ia tampak malu-malu mengalungkan lengannya ke leher Hudan.
Halaman sekolah sudah tertinggal jauh. Aku mengikuti langkah panjangnya dari belakang sambil menggandeng tangan Kali. Ku nikmati gelap sore dikurung mendung dan sisa-sisa tetesan hujan yang masih turun ringan.
Diturunkannya Inun, "Gendong di belakang ya?" tawar Hudan.
Inun mengangguk lalu naik ke punggung Hudan. Kali ini dikalungkannya lengan kecil ke leher Hudan agar tidak tejatuh.
Wajah Inun bisa saja wajah lain, mungkin perpaduan wajah Hudan dan wajahku. Lengan kecil itu bisa jadi lengan putra kami nanti. Ah, khayalan yang indah. Sungguh, tepat seperti itulah lelaki yang aku ingin jadi ayah anakku. Seperti itulah kehangatan yang akan diberikan pada putranya kelak.
***
Setelah mengantar Inun dan Kali pulang, kami pun kembali ke rumah. Masuk lewat pintu belakang, kami langsung berebut ke kamar mandi. Tentu saja aku yang menang. Hudan masih berdiri di depan pintu dan mendorong daun pintu yang ku tahan sekuat tenaga. Akhirnya ia menyerah dan hendak balik badan mengantri.
"Tunggu," panggilku, "terima kasih untuk hujan-hujannya," aku berjinjit mencium pipinya saat ia menoleh. Hudan hanya mengernyit heran. Aku menertawakannya saat ia tersenyum pura-pura sok paham. Aku lalu dengan tangkas menutup pintu tepat di depan wajah Hudan.
Mungkin begini rasanya jatuh cinta dan bahagia.
afatsa
21.11.2016
No comments:
Post a Comment