di luar sana tengah hujan, tapi hanya tetes air yang berjatuhan
ijinkan aku menghujanimu dengan kata-kata manis
hingga kamu tak memerlukan gula lain seumur hidup
bolehkan aku memenuhi harimu dengan kalimat bersayap
agar kamu bisa terbang lalu bertualang melihat dunia kemanapun kau ingin
"aku tak suka puisi manis dan cengeng macam itu."
si penyair terdiam mendengar kekasihnya berkomentar tentang puisi yang ditulisnya.
"aku lebih suka bacaan non fiksi tentang percaturan dunia. tentang kehidupan sekitar kita. tulisan solilokui, isu politik, sejarah, dan filsafat. lihatlah betapa berbedanya kita," sang kekasih lantas tertawa.
si penyair ikut tertawa,"biarlah perbedaan ini menjadi kita."
dua gelas air putih di meja. kali ini mereka sama, tak suka minuman macam-macam. bahkan sekedar kopi atau teh pun tidak menjadi pilihan utama.
"waktu aku marah padamu kemarin, aku menulis cerita pendek. sayangnya kisahnya terhenti di tengah-tengah. bingung mau ditutup dengan akhir macam apa"
sang kekasih pensasaran,"boleh kubaca?"
si penyair memindahtangankan ponsel pintar yang terbuka aplikasi catatannya. jeda waktu beberapa lama.
sang kekasih tertawa keras lalu berujar,"sayang, jangan pernah lagi menulis ketika marah. saat marah tulisan kita hanya jadi pelampiasan, dan kita akan sangat sulit puas."
si penyair mengangguk tapi sedikit manyun,"mau bagaimana lagi. aku menulis untuk terapi meredakan emosiku padamu. aku butuh pelampiasan. aku tak mau tiba-tiba melakukan konfrontasi padamu dengan ngambek tidak jelas," ia hembuskan nafas panjang lalu melanjutkan,"ujung-ujungnya nulis sedikit, hapus lagi, nulis, ingat kamu, marah lagi, hapus lagi, akhirnya buntu."
sang kekasih tersenyum, "ya sudah, nulisnya kalau pas bahagia saja. mau ending macam apa pasti bisa selesai."
"eh, tapi bagaimana dengan teori bahwa orang yang sedih atau patah hati malah punya energi untuk menulis?"
"kita bahas lain waktu. sekarang saatnya kita ke toko buku, ayo."
afatsa
13.05.2016
No comments:
Post a Comment