Wednesday, 27 April 2016

Bayangan yang Terbelah

Ia berlari. Compang-camping menggenggam hatinya. Nafasnya naik turun tak karuan. Sepasang kakinya masih menjejak jalan dalam laju yang tak lambat.

Rasa takut menyergapnya. Sesekali ia menoleh dan menyaksikan bayangannya terbelah, jadi dua. Ia memastikan sekali lagi. Mendadak satu bayangannya menghitam, meninggi, lalu menyergapnya ke pusaran gelar. Lelaki itu tumbang.

***

Berlarilah ke arah cahaya, terdengar suara bisikan jauh.

Gelap turun.

Susah payah ia berdiri. Kali ini malam menyembunyikan bayangan-bayangan miliknya. 

Sambutlah cahaya, jemputlah cahaya. Suara jauh menghampiri telinganya.

Satu. Dua. Seratus. Ia bosan menghitung langkah.

Ia habiskan sepanjang malam berjalan melawan lelah. Sekedar mencari cahaya penyembuh yang dijanjikan.

***

Habis semua bekal. Ia masih menggenggam hatinya yang luka. 

Saturday, 23 April 2016

Lelaki Pesisir

Ia menyisir rambutnya yang berantakan. Garis matanya yang agak sipit itu semakin memicing melawan sengat matahari. Tapi senyumnya mengembang, tak surut.

Desir angin, birunya langit, dan bias biru laut utara Jawa menyaksikannya berkisah. Tentang nelayan bersiap menjemput tangkapan. Sesekali ceritanya disela alunan musik dangdut koplo meliuk-liuk dari kapal nelayan yang berangkat. Tawa kami terburai.

Kami berdiri cukup dekat tapi juga cukup jauh. Ia masih melanjutkan kisahnya tentang pertarungan nelayan, jenis-jenis jaring yang digunakan saat menjala makhluk-makhluk laut yang berakhir di piring kita. Aku tak bisa mengingat semuanya, tapi mendengarnya bercerita saja sudah membuatku bahagia.

***

"Sederhana. Satu kata itu mewakilimu di mataku," tulisnya suatu hari.

Sekarang aku menyadari bahwa ternyata caranya menatap dunia yang sebenarnya sederhana. Sesuatu yang bisa dijalani dan dipermudah tak perlu dipersulit.