Begini, usia kita terlewati bersama
banyak orang. Buatlah pengecualian untuk keluarga, kita telah menghabiskan banyak waktu bersama teman sekolah, teman bermain,teman organisasi,
atau kenalan untuk jangka waktu tertentu.Tapi dari sekian banyak orang
tersebut, berapa yang sebenarnya menetap dan meninggalkan bekas yang masih kita
ingat hingga sekarang?
Tak bisa dihindari, waktu kadang mengikis
ingatan kita tentang mereka. Hanya menyisakan samar wajah dan mungkin sepotong nama.
Di jaman digital seperti ini, laman facebook menyederhanakan tugas memori kita.
Cukup dengan beberapa kali klik, kita bisa tahu kabar teman lawas kita. Dimana dia
tinggal, apakah dia sudah bekerja atau masih melanjutkan studi, ataupun status
hubungannya. Meski bukan stalker, tak jarang kita iseng ingin tahu apakah teman
yang lama tak jumpa di dunia nyata telah menikah, punya anak, atau masih asyik dengan
kesendirian seperti saya. :D
Tak ingin jumpa dengan orang
tertentu di dunia maya? Gampang, abaikan saja permintaan sebagian teman ataupun
mentionnya. Bila terganggu dengan
status atau tweet yang aneh-aneh, bisa langsung unfriend ataupun unfollow.
Sederhana.
Meskipun jejaring sosial terlihat menyederhanakan
jaringan antar manusia, tapi menurut saya hubungan yang melibatkan makhluk kompleks
semacam manusia tak pernah sesederhana tombol-tombol di laman internet. Kesimpulan
ini hanya semacam hipotesis yang dengan senang hati saya ubah bila kemudian hari
patah oleh argumen yang lebih kuat. Sebab ini kan hanya berdasarkan beberapa pengalaman
pribadi saya.
Ada satu pengalaman yang cukup membuat
saya kesal beberapa waktu terakhir. Secara tak sengaja, teman kuliah saya
(sebut saja Na) mengikuti program mengajar di daerah terpencil bersama seorang teman
SMA saya (sebut saja Di) yang sudah lama hilang komunikasi. Saya pun
berinisiatif titip salam lewat Na karena kami memang cukup dekat saat kuliah. Mengingat tempat Na mengabdi saat itu cukup terpencil, saya hanya beberapa kali saling berbalas sms.
Setelah program pengabdian itu selesai, Na, saya dan dua teman kuliah kami yang lain memutuskan untuk bertemu melepas kangen. Na bercerita bahwa Di bilang tak kenal dengan saya. Saya melongo.
Setelah program pengabdian itu selesai, Na, saya dan dua teman kuliah kami yang lain memutuskan untuk bertemu melepas kangen. Na bercerita bahwa Di bilang tak kenal dengan saya. Saya melongo.
Beberapa waktu berlalu, saya teringat
dengan Di saat menelusuri laman facebook. Ternyata laman miliknya yang ada di
daftar teman sudah seperti rumah tua tak terawat. Penuh iklan yang ditempel para
pemilik toko online. Akhirnya, lewat laman Na, saya temukan ‘rumah maya’ baru
Di.
Friend request sent. Lama tak ada respon,
meskipun akunnya jelas-jelas aktif. Satu bulan berlalu. Pesan dikirim lewat facebook.
Setelah waktu yang cukup lama, dibalas dengan sebaris kalimat: maaf, ini siapa ya? Saya balas dengan mengenalkan diri. Tak ada balasan.
Sebuah nomor ponsel tak sengaja saya temukan.
Pesan lengkap menanyakan apakah nomer ponsel ini milik Dididididididididi
(nama lengkapnya), alumni SMA xxx yang dulu kelas satu sekian, dua sekian, dan kelas
tiga jurusan xxx. Yang dulu aktif di ekskul xxx dan ekskul
xxx.
Tak ada balasan.
Argh. Kesal. Saya sedikit tersinggung. Mengapa
Di memilih untuk mengabaikan saya? Apa saya pernah berbuat salah padanya? Apa memang
ingatannya begitu keropos? Atau dia mengalami kecelakaan lantas amnesia
sebagian dan saya termasuk dalam memori kelam yang tak ingin dia ingat lagi?
Entahlah.
Mungkin juga karena dia telah bertunangan
sehingga sungkan kalau musti berinteraksi dengan teman lamanya ini. Saya benar-benar
tak paham. Penasaran.
Ternyata dilupakan teman lama juga bisa
meninggalkan luka. Ternyata diabaikan lebih sakit daripada dilempar kata-kata
kasar.
Sahabat saya yang biasanya suka menganalisis
alasan ‘psikologis’ dibalik perilaku seseorang Cuma bilang, “aku nggak kenal
dia, jadi jangan tanya penilainku. Aku heran kenapa kamu begitu tidak terima
kalau dia lupa”.
Saya sendiri juga heran. Ya sudahlah.
Beberapa waktu berlalu, saya tak sengaja menemukan
postingan di situs tempat gambar di atas terpasang. Tulisan itu berjudul sama
dengan yang terpampang di gambar (think twice before you unfriend). Ternyata hubungan lewat jejaring sosial pun
bisa memancing emosi sosial kita seperti halnya hubungan di dunia nyata. Tak
beda jauh dengan kisah ekstrim di postingan tersebut, kita tak jarang mendengar
kasus dari ketersinggungan di jejaring sosial berujung di pengadilan. Ada baiknya kita belajar untuk berhati-hati saat menjejakkan kaki di jejaring sosial, agar tak ada yang terluka karena aksi kita.
Pengabaian Di tentu saja tak sampai memantik emosi ekstrim saya. Tapi dari postingan itu saya mendapat jawaban
mengapa saya jadi gusar dan kesal pada Di, karena pada dasarnya
kita sebagai makhluk sosial tak suka penolakan. Penolakan itu menyakitkan. Seperti kata si penulis, Christina Reed, It seems as though being rejected via an online outlet is just as hurtful as being rejected offline. Wah, saya babak belur dua kali, secara online dan offline donk. :D
Perpisahan lewat kehilangan
teman memang tak pernah sesederhana memencet tombol unfriend atau unfollow.
03.03.2013
afatsa
Update 2014: Link tulisan yg saya sebutkan di atas sudah tdk bisa diakses lagi, maaf ya :)
online dan offline itu beda tipis. apalagi sudah benar2 kenal di dunia nyata lalu berinteraksi di dunia maya. sekarang sdh g sama lg dg dulu yg bilang 'alah internet aja dianggep' :|
ReplyDeleteSekarang jamannya statusmu harimaumu, hadeh.....
Deleteiya, emang bener ok sa :D
DeleteKatanya, a person comes to our life for a reason, a season, or a lifetime. Mungkin Di itu cuman seasonal :D pas musim putih-abu-abu doang :D
ReplyDeleteiya, Septy....
Deleteuntungnya cuma seasonal :D