Aku masih di tahun terakhir SMP (saat itu masih disebut SLTP) ketika bersentuhan dengan novel Muara Kasih karya Muthmainnah. Selain cerita inti yang menginspirasi, novel ini membuatku bersentuhan dengan atmosfer Australia. Sejak itulah aku menanam sebuah mimpi untuk bisa menjejakkan kaki di negeri kangguru. Tahun berlalu, mimpi itu hanya teronggok di sudut hati.
Salam hangat dari Oudegracht
26.08.2011
-afatsa-
Pertengahan tahun 2008, dua orang mahasiswa ikut berkerumun di keramaian orang di depan sebuah toko buku di Surabaya. Mereka rela ikut antri dan berdesakan untuk mendapatkan tanda tangan dari penulis yang sedang naik daun saat itu, Andrea Hirata. Mereka pun berhasil mendapatkan tanda tangan untuk buku Sang Pemimpi dan Edensor. Salah satu dari mereka adalah aku.
Dua karya dari seri Tetralogi Laskar Pelangi itu tak hanya memperkenalkan semangat pantang menyerah, tapi juga memupuk kembali keinginan untuk mendapatkan pengalaman baru yang akan memperkaya kehidupan kita. Mimpi ku berkembang lagi. Mimpi untuk bisa menuntut ilmu di negeri orang, dimanapun itu. Ini bukan tentang mengumpulkan atribut kebanggaan untuk dipertontonkan bahwa lulusan luar negeri akan lebih hebat dari lulusan negeri sendiri. Sungguh bukan itu. Mimpi ini hanya tentang rasa ingin tahu akan luasnya dunia, perbedaan bahasa, serta gesekan budaya. Pengalaman yang diibaratkan oleh Andrea Hirata sebagai kepingan mozaik –puzzle– yang akan memperkaya hidup kita, dan mungkin disana kita bisa bercermin siapa kita sebenarnya.
Edensor --salah satu dari tetralogi Laskar Pelangi-- mengisahkan bagaimana Ikal menemukan potongan mozaik dirinya dalam pengembaraanya di Eropa. Akankah ku temukan kepingan mozaikku sendiri?
Pertanyaan itu terjawab dengan penuh rasa syukur pada tanggal 4 Juli 2011. Hatiku serasa meloncat keluar saat itu. Di sebuah sidang terbuka mahasiswa calon doktor pendidikan matematika di Universitas Utrecht, dikelilingi lukisan tua para profesor yang pernah mengabdi disana ku dengar sebuah nama disebut sebagai salah satu penguji sidang tersebut. Tidak sedikitpun terlintas bahwa pengembaraanku yang jauh ke Utrecht bisa membawaku menemukan potongan mozaikku sendiri. Aku bertemu langsung dengan penulis makalah tentang representasi dalam pendidikan matematika. Makalah yang bisa dibilang merupakan sumber primer skripsiku. Beliau adalah Profesor Athanasios Gagatsis dari Universitas Cyprus. Tidak tanggung-tanggung, saat acara ramah tamah aku sempat berbincang langsung dengan beliau. Ternyata beliau berasal dari Yunani (sama seperti mahasiswa yang saat itu diuji), namun beliau mengajar di Cyprus.
Mozaik kedua ku temukan terserak saat liburan musim panas tiba. Di perbatasan antara Belgia dan Paris, ku pejamkan mataku sejenak. Ku lamunkan betapa aku ingin merasakan sensasi seperti yang Ikal rasakan saat berdiri di bawah kaki Menara Eiffel. Di perbatasan dua negara itulah ku sadari bahwa aku berhasil mengumpulkan mozaik keduaku. Di bawah kerlip lampu Eiffel, di antara keramaian manusia di Paris, aku temukan potongan diriku dalam kisah Sang Pemimpi yang lain.
Jika kalian bertanya apa arti ketidakmungkinan bagiku, inilah jawabannya. Dari sudut pandang manapun, rasanya sulit dipercaya jika seorang anak dusun --katrok kalo kata tukul-- yang tidak berbakat ini bisa menjejakkan kaki kecilnya di sedikit dari belantara Eropa. Semua di dunia ini mungkin, kawan. Selama kita tidak berhenti untuk berani bermimpi dan berani untuk mewujudkannya.
Seperti kata Andrea Hirata, bermimpilah maka Allah akan memeluk mimpi-mimpi kalian. Bermimpilah, berkelanalah, dan temukan mozaik kalian.
Salam hangat dari Oudegracht
-afatsa-
Somehow, sepertinya ada yg kurang dari foto itu? apa ya? brightness-nya? atau perbandingan jarak menara eifel ke kamu dan ke fotografer?
ReplyDeletehihihih...uda belom pernah ke Paris..akhir tahun ini kayaknya ke Paris..kesempatan banyak, tapi males kalau ga ada teman di Paris..NICEEEEEEE
ReplyDelete@favian: Unfortunately, I was a model, not a photographer of that picture. You cannot complain it to me,hahaha
ReplyDelete@uda bayu: Paris bener2 kota yang eksotis, jadi foreigner juga asyik kok (asal bisa baca peta,hehehe)