Monday, 21 November 2016

spontanitas riuh hujan

Hujan tumpah ruah tak menyisakan sedikitpun tanah kering. Air menganak sungai memenuhi ruang-ruang bervolume yang menengadah kosong. Aku mengintip lewat kaca jendela kaca yang juga dipenuhi titik-titik tempias hujan.

Langkah-langkah panjang Hudan di bawah payung warna-warni mendekat ke arah rumah. Kepala Hudan melongok lewat pintu dan mengangsurkan keranjang terbungkus plastik berisikan makanan yang dibawanya dari rumah kakak ipar padaku. Setelah menaruh bungkusan di atas meja, aku menoleh. Hudan masih berdiri di ambang pintu.

"Hujan-hujanan yuk," ajak Hudan sambil menyunggingkan senyum dan mengulurkan tangannya. Senyum sejenis tawaran keusilan dan kekanakan yang susah ditolak.

"Hujannya deras sekali, nanti kedinginan trus sakit lho," sahut Emak yang dari tadi mengamati kami, "lebih baik berdiam di rumah."

Hudan menggerakkan kepala isyarat mengajakku lagi. Segera ku ambil kerudung dan berjalan ke arah pintu.

"Mak, saya ikut mas hujan-hujanan," aku lalu pergi meninggalkan Emak yang masih bingung melihat kelakuan anak dan menantunya.

***

"Ke pelabuhan yuk," Hudan menggandeng tanganku.

Kami menyeberang jalan raya tepat depan rumah. Beberapa puluh meter sebelum sampai ke pintu masuk pelabuhan, Hudan menghentikan langkahnya.

Wajahnya ragu, "ke pelabuhan atau ke selatan ya?"

"Selatan?" tanyaku.