Hanya melalui dunia tak nyata aku mengenalnya. Sebuah nama dengan kisah tak terhingga. Dalam langkahnya dia bawakan aku benang sari yang menyapa putikku. Tunas itu tumbuh di sebuah kotak istimewa di sudut hatiku.
Alir deras kalimat darinya memupuk kelopak bungaku untuk berkembang. Tiap tinta yang ia teteskan menjadi kata membuahkan keharuan, membuncahkan kekaguman.
Gila. Betapa memabukkan rasa ini. Meracuniku hingga ke tulang dan nadi. Menidurkanku dalam keindahan mimpi.
Indah terasa saat semilirnya menyapa.
Apakah ia nyata?
Gurat semangat tumpahan karyanya menggerakkan hatiku padanya.
Apakah ia benar ada?
Dia yang bernama angin,
aku menunggu kisah yang bisa ku kenang lagi dan lagi
agar aku bisa menyimpannya sebagai hadiah
Dia yang bernama angin,
aku menanti bisik cerita sisi hidup yang belum aku jelajahi
agar aku belajar menapaki jejaknya yang indah
Mengapa ia harus menyapaku?
Mengapa ia begitu indah untuk diabaikan?
Akal sehatku berbisik. Mungkin senyumnya tak hanya untukku. Mungkin ia hanya angin yang berbembus sejenak sebagai bagian perjalanan dan segera berlalu bersama waktu. Fitrah angin, begitu ujar hatiku. Ah, aku hanya bunga kecil yang sedang tumbuh. Ku kokohkan akarku, agar tidak tercerabut saat angin menjadi badai.
18.09.2011
Ditemani langit biru tanpa mendung di Oudegracht.
Afatsa
------------------------------------------------------------------------
Terima kasih, wahai angin. Kau telah membawa sepotong kisah istimewa untukku meski mungkin hanya sejenak.
